Marwah Melayu di Simpang Ujian Korupsi: Keprihatinan dari Bumi Lancang Kuning

Penulis : -
Marwah Melayu di Simpang Ujian Korupsi: Keprihatinan dari Bumi Lancang Kuning
Ketua Umum DPP GaMPI, Nini Arianti, menyerukan pentingnya menjaga marwah dan integritas Melayu di tengah maraknya kasus korupsi di Riau.( Foto : Celurit. News)

JAKARTA, Celurit. News - Bumi Lancang Kuning, Riau, dikenal bukan hanya karena limpahan sumber daya alamnya, tetapi juga karena kekayaan nilai-nilai budayanya. Di tanah ini, “Tuah dan Marwah” menjadi filosofi hidup yang diwariskan turun-temurun, menjadi pedoman bagi setiap anak negeri dalam menjaga kehormatan dan keberkahan hidup.( 05/11/2025).

Dalam pandangan orang Melayu, Tuah adalah lambang kemuliaan dan potensi kemajuan, sedangkan Marwah mencerminkan kehormatan, harga diri, dan integritas. Nilai-nilai inilah yang menjadi dasar dalam menjalani kehidupan pribadi maupun mengemban amanah kepemimpinan.

Namun, keindahan filosofi itu kini kembali tercoreng. Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap salah seorang kepala daerah di Riau menjadi tamparan keras bagi marwah masyarakat Melayu. Peristiwa ini bukan sekadar kasus hukum, tetapi juga tragedi kultural yang mengguncang akar moral dan keadaban.

Dalam tradisi Melayu, seorang pemimpin digambarkan sebagai sosok yang “didahulukan selangkah, ditinggikan seranting” orang yang harus menjadi teladan dalam tutur, perilaku, dan kejujuran. Ketika pemimpin terjerat korupsi, maka bukan hanya hukum yang ternoda, tetapi juga harga diri sebuah peradaban.

Catatan kelam korupsi di Riau seolah terus berulang. Berdasarkan data dan pemberitaan, empat Gubernur Riau telah berurusan dengan KPK. Mereka adalah Saleh Djasit (1998–2003), Rusli Zainal (2003–2013), Annas Maamun (2014–2019), dan Abdul Wahid (2024–sekarang). Daftar panjang ini menjadi refleksi mendalam bahwa persoalan integritas belum benar-benar tuntas di tubuh birokrasi daerah.

Kasus terbaru yang menjerat Abdul Wahid melalui OTT KPK pada November 2025 menambah luka bagi masyarakat Riau. Meski status hukumnya masih menunggu kepastian, peristiwa ini sudah cukup mengguncang kepercayaan publik terhadap moralitas pejabat daerah.

Kejadian serupa yang terus berulang menunjukkan adanya masalah sistemik dalam birokrasi, khususnya lemahnya pengawasan internal dan budaya integritas. Meskipun pemerintah provinsi berupaya meyakinkan bahwa roda pemerintahan tetap berjalan normal, publik kehilangan kepercayaan terhadap komitmen moral pemimpinnya.

Fakta lain memperkuat sinyal bahaya itu. Berdasarkan Survei Penilaian Integritas (SPI) oleh KPK, Provinsi Riau pernah mencatat skor di bawah rata-rata nasional misalnya 66,1 pada tahun 2021. Angka ini menjadi indikator bahwa risiko korupsi masih tinggi dan sistem antikorupsi belum kokoh.

Kini, marwah Melayu benar-benar sedang diuji. Media sosial dan ruang publik dipenuhi dengan kabar buruk tentang penangkapan pejabat, bukan prestasi atau inovasi pembangunan. Reputasi Riau sebagai negeri berbudaya luhur seolah digantikan dengan citra kelam akibat ulah segelintir oknum.

Dalam situasi seperti ini, peran generasi muda menjadi penentu arah masa depan. Mereka bukan hanya pewaris tanah Melayu, tetapi juga penjaga nilai-nilai moral dan agen perubahan sosial. Jika generasi muda gagal menjaga marwah, maka akar budaya akan perlahan terkikis.

Generasi muda harus kembali meneguhkan Tunjuk Ajar Melayu menanamkan nilai malu, amanah, dan jujur dalam setiap tindakan. Nilai-nilai inilah yang akan menjadi benteng utama dalam mencegah korupsi dan membangun pemerintahan yang bersih serta berwibawa.

Korupsi sering dibungkus dengan dalih “keterpaksaan” atau “sudah menjadi sistem”. Padahal, itu hanyalah bentuk penipuan diri (bad faith) yang meniadakan nurani. Generasi muda harus berani menolak mentalitas itu dan memilih jalan otentik, yakni bersikap jujur dan bertanggung jawab meski dalam tekanan.

Tujuan tertinggi dari kehidupan bermoral, sebagaimana disebut dalam etika kebajikan, adalah Eudaimonia hidup yang berkembang dan sejahtera. Dalam konteks Melayu, Eudaimonia hanya bisa dicapai ketika Tuah dan Marwah tetap terjaga. Sebab, korupsi mungkin menghadirkan kekayaan semu, tetapi menghancurkan kehormatan diri dan marwah bangsa.

Editor : Redaksi