Nenek Renta di Sampang , Perempuan Dirantai, dan Difabel Hidup dalam Sunyi tanpa Uluran Tangan Pemerintah

SAMPANG, Celurit.news – Di ujung Dusun Pao Baruh, Desa Barunggagah, Kecamatan Tambelengan, Kabupaten Sampang, Madura, berdiri sebuah rumah reyot berdinding anyaman bambu. Di dalamnya, tiga generasi manusia hidup dalam pusaran derita tanpa listrik yang layak, tanpa bantuan sosial, dan tanpa perhatian pemerintah.
Adalah Ibu Ma’e, nenek renta yang tubuhnya kian ringkih dimakan usia. Ia menua dalam kesunyian, tanpa jaminan hidup dari negara yang seharusnya melindungi warga miskinnya. “Sejak dulu tidak pernah ada bantuan apa-apa,” keluh seorang tetangga lirih.
Namun pemandangan paling menyayat hati justru datang dari Muhrimah, perempuan paruh baya yang hidup dalam belenggu rantai besi. Tangannya terikat, kakinya diborgol, dan tubuhnya dikurung di dalam ruangan sempit. Tidak ada alasan medis yang jelas, tidak ada pendampingan sosial. Rantai itu menjadi saksi bisu betapa negara benar-benar absen di rumah ini.
Kisah getir semakin lengkap dengan kehadiran Pagi, anggota keluarga lain yang menyandang disabilitas. Mereka hidup di bawah satu atap, tetapi seolah tak pernah terdaftar sebagai manusia dalam sistem sosial negara. Warga sekitar hanya bisa mengelus dada.
“Ini bukan lagi soal miskin. Ini soal nurani. Kalau negara masih waras, seharusnya tidak ada manusia yang dirantai dan hidup seperti ini di tanah sendiri,” ujar salah seorang warga dengan nada getir.
Ironinya, penderitaan itu sudah berlangsung bertahun-tahun tanpa penanganan. Pemerintah desa bungkam, aparat kecamatan tak bergerak, dan Dinas Sosial baru bereaksi setelah kasus ini mencuat ke publik.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Dinsos P3A Sampang, Edi Subinto, menyatakan pihaknya akan menelusuri data keluarga tersebut.
“Minta tolong untuk dicek dulu data KK atau KTP-nya. Kalau belum ada, bisa diusulkan dari desa ke kecamatan, nanti ke kabupaten,” ujarnya melalui pesan singkat.
Pernyataan itu menambah ironi: ketika birokrasi menjadi alasan, derita manusia hanya dihitung dari keberadaan dokumen. Sementara itu, Ibu Ma’e dan keluarganya terus bertahan dalam gelap, seolah kemiskinan mereka bukan urusan negara.
Kisah dari Pao Baruh ini menjadi cermin buram wajah kemanusiaan di daerah: bahwa rakyat kecil masih harus menunggu belas kasihan untuk diakui, sebelum ditolong.
Editor : Redaksi