Merdeka Tapi Masih Terjajah oleh Bangsanya Sendiri

celurit.news
Foto : Abd Hamid, M.Pd : Pegiat Sosial dan Pendidikan

Penulis: Abd Hamid, M.Pd

Pegiat Sosial dan Pendidikan

SAMPANG, celurit.news - Agustus kembali hadir — bulan yang setiap tahun diperingati sebagai simbol kebebasan dan kemenangan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Namun, di tengah gegap gempita perayaan, kita justru dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa makna kemerdekaan itu perlahan memudar, digantikan oleh kebijakan-kebijakan yang menjauhkan rakyat dari kedaulatan sejatinya.

Beberapa keputusan negara dalam waktu terakhir sungguh mencederai rasa keadilan publik. Tom Lembong mendapatkan abolisi, Hasto memperoleh amnesti. Dua keputusan hukum yang mestinya berangkat dari pertimbangan objektif dan adil, kini justru dicurigai sebagai manuver politik belaka. Hukum yang seharusnya tegak lurus, kini tampak lentur mengikuti kepentingan elit kekuasaan.

Di tengah kegelisahan itu, masyarakat mengekspresikan perlawanan mereka dengan cara-cara yang tak biasa. Pengibaran bendera *One Piece* — simbol bajak laut fiksi yang melawan ketidakadilan dan tirani — menjadi gambaran nyata bahwa rakyat merasa dikhianati. Ini bukan soal budaya pop semata. Ini adalah pesan: ada yang salah dengan arah bangsa ini.

Kekecewaan publik semakin diperparah dengan kebijakan-kebijakan aneh yang menyulitkan kehidupan rakyat kecil. Rekening bank yang tidak digunakan selama tiga bulan diblokir, tanah yang tidak dikelola selama tiga tahun diambil alih negara. Kebijakan semacam ini, yang seolah dibuat tanpa empati, tidak lain adalah bentuk penindasan legal. Negara hadir bukan sebagai pelindung, tetapi sebagai pemilik tunggal kekuasaan.

Dan yang paling mengkhianati semangat kemerdekaan adalah keputusan pemerintah untuk mengelola blok Ambalat bersama Malaysia — wilayah perairan kaya sumber daya yang selama ini dipertahankan mati-matian oleh para prajurit kita di ujung perbatasan. Langkah ini jelas mencederai kedaulatan nasional. Di mana prinsip “sejengkal tanah pun akan kita pertahankan”? Bagaimana mungkin negeri yang konon sudah merdeka justru menyerahkan wilayah strategis kepada negara lain atas nama “kerja sama”?

Apakah kemerdekaan hari ini hanya sebatas parade dan seremoni, tanpa isi? Kita mungkin memang tidak lagi dijajah oleh bangsa asing secara fisik, tetapi kita masih dijajah — oleh sistem yang menindas, oleh kebijakan yang tidak pro-rakyat, dan oleh elit yang menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk mengukuhkan dominasi.

Maka, di bulan yang penuh simbol perjuangan ini, kita perlu kembali bertanya secara jujur: Apakah kita benar-benar sudah merdeka? Ataukah kita hanya mengganti penjajah, dari asing menjadi sesama anak bangsa yang kini justru menindas bangsanya sendiri?

Editor : Redaksi

Breaking News
Terpopuler
Berita Terbaru