SAMPANG, Celurit.News – Riuh suara ombak di pesisir Pantai Ketapang, Sampang, pagi itu diselingi teriakan lantang ratusan warga. Bukan nelayan yang bersiap melaut, melainkan massa yang menggenggam keresahan.
Mereka membentangkan dua banner besar berwarna merah dan putih yang mencolok di tengah semilir angin pantai. Tulisannya tajam, seperti jeritan yang selama ini terpendam.
Baca juga: Dari Fanatik Buta Menjadi Kader Militan: Perjalanan Spiritual Masto di PKPNU Sokobanah Sampang
"Keterlibatan Masyarakat Lokal Hukumnya Adalah Wajib Sesuai Undang-Undang Migas," bunyi salah satu spanduk. Tak jauh dari situ, spanduk merah menyala menyampaikan ultimatum: "Kalau Masyarakat Lokal Tidak Dilibatkan, Kami Siap Usir Petronas dari Bumi Sampang."
Aksi damai yang digelar itu menjadi simbol akumulasi kekecewaan warga terhadap keberadaan Petronas Carigali Ketapang II Ltd (PC Ketapang II Ltd), perusahaan asal Malaysia yang mengelola sumur migas Bukit Tua di perairan utara Madura, Minggu (25/05/2025)
Salah satu tokoh pemuda, Firman, tak bisa menyembunyikan kemarahannya.
"Konpensasinya tidak jelas kepada masyarakat, bahkan sangat merugikan nelayan. Karena hasil tangkapan ikan berkurang, karena ekosistem laut rusak dan tercemar akibat migas Petronas," ujar Firman lantang.
Lebih dari sekadar kompensasi, Firman menilai perusahaan migas asing tersebut tidak memiliki komitmen serius dalam menjalankan program Corporate Social Responsibility (CSR). Ia menyebut, selama bertahun-tahun beroperasi, CSR Petronas tidak berdampak signifikan.
"Petronas Carigali ini hanya omon-omon saja. CSR-nya tidak jelas. Padahal sudah bertahun-tahun ambil kekayaan alam Madura, tapi cuma bisa bangun taman dan mobil damkar. Triliunan rupiah mereka angkut, tapi masyarakat cuma dapat debu,” tambah Firman, dengan mata menatap jauh ke laut.
Nada serupa disampaikan Winarno, tokoh nelayan Pantura, yang merasa warga lokal telah terlalu lama hanya menjadi penonton di tanah sendiri. Ia menegaskan bahwa setiap aktivitas eksplorasi dan eksploitasi migas harus melibatkan masyarakat lokal.
Baca juga: Janji Politik Hanya Jadi Gincu Kampanye, Warga Tlagah Bangun Jalan Kabupaten Secara Swadaya
“Kalau tidak melibatkan kami, lebih baik Petronas cabut dari bumi Madura. Itu amanah undang-undang!” tegasnya.
Landasan Hukum: Amanat yang Diabaikan?
Tuntutan warga bukan tanpa dasar. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, terutama Pasal 11 ayat (3) ditegaskan bahwa:
"Kegiatan usaha hulu dan hilir migas harus memperhatikan kepentingan masyarakat, keselamatan dan kelestarian lingkungan."
Selain itu, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, terdapat klausul yang menyebut bahwa kontraktor wajib melibatkan masyarakat lokal, serta memperhatikan program pengembangan masyarakat (Community Development) di sekitar wilayah kerja. Namun, menurut warga, implementasi dari regulasi ini masih jauh dari harapan. Alih-alih merasa dilibatkan, mereka justru merasa dimarjinalkan. Dampaknya bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga kerusakan lingkungan laut yang menjadi sumber hidup ribuan nelayan.
Gelombang Penolakan atau Tuntutan Keadilan?
Aksi di Pantai Ketapang ini bisa jadi hanya awal dari gelombang yang lebih besar. Di tengah ketidakpuasan yang meluas, suara-suara dari akar rumput mulai mengeras. Mereka bukan menolak investasi, tapi menuntut keadilan – bahwa kekayaan alam Sampang tak boleh hanya menguntungkan segelintir pihak, apalagi yang datang dari luar negeri.
Mereka ingin didengar, dilibatkan, dan dihormati. Sebab bagi warga Pantura, laut bukan hanya sumber kehidupan, tapi juga warisan yang harus dijaga. Dan jika Petronas tak mampu menunjukkan niat baik, maka gelombang penolakan ini bisa menjelma badai yang lebih besar.
Editor : Redaksi