BANGKALAN || Celurit.news – Penanganan kasus dugaan malpraktik yang menyebabkan kepala bayi terputus dan tertinggal di rahim ibunya saat proses persalinan di Puskesmas Kedungdung, Kecamatan Modung, Kabupaten Bangkalan, diduga kuat sarat permainan dan ketidakprofesionalan penyidik Polres Bangkalan. (07/06/2025)
Tragedi memilukan ini dialami keluarga Sulaiman dan Mukarromah, saat sang istri melahirkan di puskesmas pada Mei 2024. Kepala bayi yang diduga ditarik paksa oleh oknum bidan, terlepas dari tubuhnya dan tertinggal di rahim sang ibu. Kasus ini kemudian dilaporkan secara resmi ke Mapolres Bangkalan pada 4 Mei 2024, dengan terlapor sejumlah tenaga kesehatan di puskesmas tersebut.
Baca juga: Bebek Songkem Pak Salim Bangkalan, Kuliner Primadona Madura Yang Wajib Dicoba!
Penyidik Polres Bangkalan awalnya menerapkan Pasal 84 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, yang memuat sanksi pidana bagi tenaga medis yang melakukan kesalahan berat dalam praktik pelayanan kesehatan. Namun, satu tahun berselang, penanganan kasus nyaris tak menunjukkan perkembangan signifikan.
Kebuntuan itu mendorong LSM Laskar Pemberdayaan dan Peduli Rakyat (LASBANDRA) melayangkan surat klarifikasi kepada Polres Bangkalan pada 5 Mei 2025. Aksi ini bak membangunkan penyidik dari tidur panjang, karena pada hari yang sama Polres menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) baru, seperti tertera dalam SP2HP kedua yang diterima keluarga korban pada 11 Mei 2025.
Dugaan adanya praktik "main mata" kian mencuat dalam audiensi yang digelar pada 2 Juni 2025 di Mapolres Bangkalan. Audiensi itu dihadiri langsung oleh pihak keluarga korban dan penasehat hukumnya, bersama Kasatreskrim AKP Hafid Dian Maulidi, S.H., dan Kanit Pidum Ipda M. Nurcahyo, S.H., M.H.
Baca juga: Gerbangmas Gelar Rapat Kerja Perdana, Fokus pada Pemberdayaan dan Isu Sosial Bangkalan
Dalam forum itu, AKP Hafid mengakui adanya perubahan pasal yang digunakan. “Mohon maaf, benar kami ubah undang-undangnya. Kasus ini lebih tepat menggunakan Pasal 305 UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, karena itu harus ada rekomendasi dari Majelis Disiplin Profesi (MDP),” jelasnya.
Namun pernyataan itu justru mengundang kekecewaan. Barry Dwi Pranata, S.H., penasihat hukum keluarga korban, menilai penyidik tidak konsisten dan tidak memahami instrumen hukum sejak awal. "Ini sangat janggal. Mengapa baru sekarang pasalnya diubah setelah kasusnya mangkrak selama satu tahun? Ini menunjukkan bahwa penyidik tidak profesional dan ada indikasi kepentingan tertentu dalam penanganan kasus ini," tegas Barry.
Ia menilai, penyidik telah gagal memberi rasa keadilan kepada keluarga korban. "Jangan sampai hukum menjadi alat kompromi atau batu loncatan karir. Kasus ini menyangkut nyawa manusia dan harus diselesaikan secara objektif, bukan diseret ke ranah abu-abu," pungkasnya.
Hingga berita ini ditayangkan, pihak Polres Bangkalan belum memberikan klarifikasi lanjutan terkait alasan perubahan pasal serta kejelasan proses hukum terhadap oknum tenaga kesehatan yang terlibat
Editor : Redaksi